Pendidikan adalah hak seluruh warga negara indonesia, baik yang normal maupun yang memiliki kebutuhan khusus. Pemerintah memfasilitasi rakyatnya untuk mendapatkan pelayanan pendidikan secara merata. Apalagi setelah di canangkannya wajib belajar sembilan tahun. Semua warga negara wajib sekolah diusia dasar. Demikian juga bagi anak didik yang memiliki kebutuhan khusus tidak luput dari perhatian pemerintah. Pendidikan bagi peserta penyandang disabilitas di Indonesia telah diwadahi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas ini disediakan dalam tiga jenis lembaga pendidikan, yakni: Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai lembaga pendidikan yang tertua, menanmpung peserta didik yang jenis kelainannya sama. Contohnya: SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunanetra, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan sebagainya. Sekolah Dasar Luar Biasa menampung berbagai jenis anak yang berkelainan menjadi satu, sehingga dalam satu sekolah atau bahkan satu kelas terdiri dari berbagai macam peserta didik yang berkelainan, Misalnya tunarungu, tunadaksa, tunanetra, tunalaras, tunagrahita, dan sebagainya.
Dalam prakteknya semuanya di buatkan kurikulum tersendiri sebagai penanganan berkebutuhan khusus dengan hambatan belajar yang hampir sama. Sehingga yang sekolah di lembaga pendidikan tersebut adalah mereka penyandang disabilitas dengan type yang bervariasi. Tidak ada peseta didik biasa atau reguler yang mendaftar di sekolah sekolah tersebut dengan asumsi tidak ada kurikulum untuk reguler. sekolah ytersebut menjadi rujukan masyarakat yang memiliki anak berkebutuhan khusus saja.
Adapun Pendidikan terpadu atau dapat di sebut dengan pendidikan inklusi adalah sekolah regular yang menampung anak berkelainan dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajarnya sama. Namun jenis ini biasanya hanya masih menampung anak tunanetra saja, itu pun terkadang masih banyak sekolah yang keberatan untuk menampungnya. Dalam perkembangannya kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional yang memberikan warna baru dalam penyediaan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas ini.
Harapanya adalah seluruh anak dalam kondisi apapun di terima di lembaga pendidikan yang ada di sekitar rumahnya. Tetapi penanganan khusus untuk anak berkebutuhan khusus menjadi satu problematika tersendiri bagi lembaga pendidikan jika harus menjalaninya. Untuk mengembangkan kurikulum reguler saja lembaga pendidikan harus terus bebenah dan mengevaluasi banyk masalah demi kemajuannya apalagi harus menangani anak berkebutuhan khusus yang notabene membutuhkan pemikiran tersendiri selain tenaga dan biaya yang tidak sedikit tentunya. Maka lembaga pendidikan memilih untuk tidak menerima anak berkebutuhan khusus atau disabilitas karena harus kerja dua kali. Atau kalaupun terpaksa menerima anak bekebutuhan khusus, maka memaksakan kurikulum yang ada ketuntasan yang ada dan membiarkan anak berkebutuhan khusus berjuang mengejar sehingga efeknya tidak ada kenyamanan maupun keamanan baginya. Sehingga ujung ujungnya mereka dinaikkan dan di tunggu lulusnya saja.
Dalam penjelasannya, pasal 15 dan pasal 32 menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Dalam penjelasan ini peserta didik berkebutuhan khusus menjadi satu dalam kelas yang di huni oleh peserta didik reguler dan mendapatka pelajaran yang sama , guru yang sama serta perlakuan yang sama pula. Sehingga tidak akan ada deskriminasi dalam lembaga pendidikan, dengan asumsi bahwa semau anak yanga ada di sekitas sekolah biasa dan boleh mengakses dengan bebas untuk mengenyam pendidikan di sekolah tersebut.
Pendidikan inklusi relatif banyak dibuka oleh berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, karena semangat pendidikan inklusi memang sangat sesuai dengan filosofi Bangsa yang menyatakan Bhineka Tunggal Ika. Selain lembaga-lembaga pendidikan resmi Pemerintah (negeri), ternyata tidak sedikit lembaga swadaya atau swasta yang menyediakan ruang bagi pendidikan inklusi di lembaganya. Namun demikian bila dibanding dengan angka anak berkebutuhan khusus, maka jumlah lembaga pendidikan yang menyediakan ruang untuk pendidikan inklusi belumlah memadai. Data tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Direktorat jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendibud, Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi berjumlah 814 sekolah dengan jumlah siswa mencapai 15.181 siswa. Jika di hitung jumlah ini masih sangat jauh dari kata cukup. Berarti masih banyak anak berkebutuhan khusus yang tidak bisa mengakses sekolah yang didinginkan atau sekolah yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Perlu bagi pemerintah untuk memaksimalkan jumlah sekolah yang ada dan menjadikan sebagai sekolah inklusi dengan kurikulum dan penanganan yang di maksimalkandan di mudahkan.
Pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada anak berkelainan dan anak yang lainya yang selama ini tidak bisa sekolah karena berbagai hal yang menghambat mereka untuk mendapatkan kesempatan sekolah, seperti letak sekolah luar biasa yang jauh, harus bekerja membantu orangtua, dan sebab lainya seperti berada di daerah konflik atau terkena bencana alam. Sekolah inklusi bertujuan untuk memberi kesempatan bagi seluruh siswa untuk mengoptimalkan potensinya dan memenuhi kebutuhan belajarnya melalui program pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi ialah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan usianya dan perkembangannya. Pendidikan inklusi juga membuktikan bahwa mendidik anak dengan kebutuhan khusus bersama dengan anak normal menunjukkan perkembangan yang signifikan .
Anak yang berkebutuhan khusus yang belum mendapat layanan pendidikan dengan berbagai jenis kelainan, dan sebagian besar mereka tinggal di perdesaan dan pusat-pusat perkotaan. Dengan demikian pendidikan inklusi masih banyak memerlukan perhatian yang sangat besar dari pemerintah sebagai penyelenggara negara yang bertanggungjawab terhadap pendidikan seperti dimanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, yakni:
- Ayat (1): “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”.
- Ayat (2): “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
Hal ini selaras dengan ajaran islam yang menyebutkan bahwa semua anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan haknya dan Allah tidak melihat bentuk (fisik) seorang muslim, namun Allah melihat hati dan perbuatannya. Hal ini dinyatakan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Artinya: dari Abu Hurairah RA: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian.
Kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Budaya jawa sangat kental di pegang oleh para orang tua. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving). Kearifan lokal yang peneliti gunakan adalah budaya jawa yang meliput tatakrama, bahasa, unggah ungguh, cara menghormati yang lebih tua. Dalam budaya jawa hal tersebut sangatlah dibanggakan dan di hormati jika melekat pada diri seseorang.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan banyak hal tentang pendidikan, maka sisi lain dari pengetahuan adalah pembiasaan yang ditanamkan pada peserta didiknya . seperti kita lihat baha nak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam kategori diatas rata rata dan di baah rata rata, sehingga jika di terapkan kurikulum rata rata maka sulit untuk mencapainya. Maka kebijakan menanamkan pembiasaan, karrakter serta kemandirian atau sisi lain inilah yang akan menjadi prioritas dalam pendidikan inklusi. Seperti keluhuran budaya jawa yang ditanamkan pada peserta didik yang berkebutuhan khusus akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang tua yang mungkin tidak memiliki harapan secara kognitif pada anaknya. Setidaknya mereka kan mengerti bagaimana cara hidup bersama orang lain, melayani diri sendiri, sopan santun serta mmapu membaa diri saat bersama masyarakat lain. Nilai inilah yang akan menjadi laternatif penanaman karakter dalam pembelajaran inklusi.
baca juga: mudah menulis buku untuk pemula: trik praktis menulis
Dalam kenyataannya, dengan berbagai alasan banyak sekolah yang masih keberatan untuk menerima siswa berkebutuhan khusus ini, kalau toh ada terkadang pelaksanaannya belum seperti diharapkan sesuai dengan konsep pendidikan inklusi itu sendiri. Selain itu permasalahan-permasalah teknis lain berkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi ini, masih banyak perlu mendapat perhatian dari pemangku kebijakan. Berdasarkan fenomena tersebut, tulisan ini ingin mencoba menelaah tentang desain pendidikan inklusi, implementasinya di lapangan seta evaluasi yang dilakukan di sekolah.
*Oleh: Dr. Yuni Masrifatin, MA, Wakil Ketua I STAI Miftahul Ula (STAIM) Nganjuk.